Aku Bersyukur

Aku Bersyukur

Aku bersyukur karena di saat aku tersesat di persimpangan hidupku,
Aku tahu bahwa Tuhan itu baik dan benar,
sebab itu Ia menunjukan jalan kepada orang yg tersesat

Aku bersyukur karena di saat aku bimbang di perjalanan hidupku,
Aku tahu bahwa Tuhan menyertaiku dan tidak ada seorangpun yang akan menjamah
dan menganiaya aku

Aku bersyukur karena di saat aku takut,
Dia memegang tangan kananku dan berkata
jangan takut, ... 
 
http://hikmat-tuhan.com/?menu=curhat

Filsafat Pendidikan Paulo Freire (Anton Sudiarja)


Kalau negara-negara berkembang mulai mengadakan pembangunan, maka harus dipertanyakan sejauh mana pembangunan tersebut melibatkan manusia sebagai pembangun sendiri serta sebagai subyek untuknya diadakan pembangunan. Manfred Stanley mengemukakan bahwa arti Pembangunan otomatis telah menjadi bahan konflik masyarakat modern, yaitu dari perspektif moralnya. Sebagian menerima begitu saja pembangunan sebagai pengembangan daya-daya sosio-ekonomis serta merupakan pengaturan sosial ke arah kehidupan yang lebih baik. Sebagian lagi yang alergi terhadap segala sesuatu yang serba modern beranggapan bahwa pembangunan hanyalah kata penghalus saja untuk imperealisme kultur.
Sejajar dengan Theologi pembebasannya Gustavo Gutierrez, Paulo Freire pun merasakan bahwa kata pembangunan belum memadai untuk mengungkapkan usaha manusia kini dalam menggumuli zamannya. Lebih lagi pembangunan yang sekarang ini memberikan kesan terlalu materialistis dan tidak memberikan kesempatan untuk mencari suatu alternatif. Untuk itu Freire telah memilih pembebasan sebagai tema pendidikannya.
Filsafat pendidikan Freire berangkat dari konsep mengenai manusia dan dunia. Hal ini mengandaikan perlunya sikap orientatif. Orientasi ini merupakan usaha pengembangan bahasa pikiran, artinya ialah bahwa manusia sanggup mengerti melalui praxisnya merubah realitas. Karena itu orientasi pendidikan haruslah mengarahkan manusia pada pengenalan realitas diri dan dunianya. Pengenalan ini belum cukup kalau hanya bersifat subyektif atau obyektif saja, malainkan harus sekaligus kedua-duanya. Proses pendidikan dengan demikian melibatkan tiga unsur ialah pengajar dan pelajar disatu pihak sebagai subyek yang sadar dan realitas dunia sebagai obyek yang tersadari.

Manusia dipanggil untuk menjadi subyek yang sadar. Inilah tujuan daripada humanisasi yang digariskan Freir, yang merupakan kodrat manusia. Lain dari binatang yang hanya didorong naluri, manusia itu sadar dalam bertindak. Karena itu manusia lebih dari sekedar hidup saja. Ia bereksistensi. Ini bukan berarti bahwa manusia tidak terbatas, melainkan bahwa dengan praxisnya ia sanggup mengatasi situasi batasnya. Jika manusia hanya menyerah pada situasi batas ini, maka susutlah kemanusiaannya dan ia kembali pada taraf binatang.
Namun de fakto, kata Freire, didunia ini terjadi dehumanisasi, yaitu satu kelompok manusia menindas kelompok lainnya. Bukan hanya kaum tertindas yang diobyekkan itu menjadi dehumanis, tetapi lebih-lebih juga kaum penindas sendiri yang tidak menyadari akan arti panggilan manusia itu.
Manusia yang humanis, kata Freire adalah manusia yang menjadi pencipta (creator) dari sejarahnya sendiri. Karena hidupnya didunia, manusia mau tak mau mesti bergaul dengan sesamanya. Unsur ini pun tak dapat ditinggalkan dalam proses menyejarah tersebut. Mereka bersama-sama adalah being yang menjalani proses becoming yang tak pernah selesai. Oleh karena sebagai creator, manusia tidak cukup hanya beradaptai terhadap dunia, malainkan berintegrasi dengan dunia.
Gagasan Freire mengenai pendidikan sangat kontroversial. Dengan terbuka ia melontarkan kritik-kritik yang menyangkut model pendidikan yang de facto berlangsung sekarang dan kemudian mengajukan suatu alternatif yang bersifat revolusioner, yang sesuai dengan kodrat dan panggilan manusia. Tentu saja hal ini mengundang kesan bahwa pendidikan model Freire akan bersifat politis. Memang hakekat pendidikan itu sendiri, seperti dirumuskan Richard Shaull dalamkata pengantarnnya terhadap buku Pedaggogy of the opressed, tidak pernah netral. Pendidikan bermaksud mnjinakkan (domesticate) manusia kedalam suatu kerangka kehidupan yang sudah ada atau membebaskan manusia untuk menjadi creator yang mampu menyusun sejarahnya sendiri bersama dengan manusia lain.

1. Pendidikan a la bank

Freire mengemukakan bahwa pendidikan yang umumnya dilakukan hingga sekarang ini dapat diandaikan sebagai bank. Pada anak didik ditanamkan ilmu agar daripadanya kelak dapat diharapkan hasil lipat ganda. Dialah sumber deposito yang potensial. Pola ini secara a priori menentukan bahwa guru adalah pemilik tunggal dari ilmu, sedang pada murid hanya wadah kosong yang akan diisi. Proses pendidikan tak lain adalah proses pengisian ilmu pada wadah yang kosong tersebut. Maka nampak jelas bahwa guru adalah subyek yang aktif sedang murid hanyalah obyek pasif yang penurut. Pendidikan dengan bersifat narratif, dimana guru memberi informasi yang oleh murid harus ditelan, diingat dan dihafal.
Tidak mengherankan apabila identitas yang dikejar murid adalah identitas guru. Dialah manusia ideal yang harus ditiru, yang patut dicontoh dan diteladan. Dialah yang sanggup menolong murid karena hanya dia yang memiliki ilmu. Ciri pemilikan ini memuat implikasi yang luas, sehingga merupakan ciri yang amat diidealkan. Barang siapa memiliki dialah berkuasa. Pendidikan a la bank dengan demikian, Freire meminjam istilah Fromn, tidak memperkembangkan biophily melainkan sebaliknya necrophily, yaitu manusia yang hanya dapat mencintai benda-benda mati saja sebagai obyek. Murid harus berusaha untuk bermilik, sebab jika tidak ia akan gagal sebagai manusia. Oleh sebab jika tidak ia akan gagal sebagai manusia. Oleh sebab itu kaum bodoh, kaum tak berpemilik kaum tak mampu dalam pendidikan pola bank adalah kaum yang harus ditolong. Mereka adalah orang-orang marginal yang memperlihatkan gejala pathologis.
Untuk menunjukkan pertentangan (antagonis) antara guru dan murid, Paulo Freire memuat sepuluh contoh sikap dalam pengajaran :
a.       Guru mengajar, murid diajar.
b.      Guru tahu segalanya, murid tak tahu apa-apa
c.       Guru berpikir, murid dipikirkan.
d.      Guru berbicara, murid mendengarkan.
e.       Guru mengatur, murid diatur.
f.       Guru memilih dan memaksakannya pilihannya, murid menurut.
g.      Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak seturut tindakan gurunya.
h.      Guru memilih isi dri program yang diajukannya dan murid menyesuaikan diri.
i.        Guru mengacaukan otoritas ilmu pengetahuan dengan otoritas profesinya dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid.
j.        Guru adalah subyek dari proses pelajaran, murid hanyalah obyek.

Menurut Freire sistem pendidikan seperti itu mengelabui kesadaran manusia. Manusia dibiasakan pada struktur masyarakat yang ada sehingga kesadarannya tak mencari alternatif lain. Akan tetapi karena struktur tersebut bukan dari dirinya sendiri ia merasakan tiadanya kesesuaian. Manusia menjadi terasing dari realitasnya sendiri. Pola pendidikan ini paling-paling hanya mampu merubah interpretasi manusia terhadap situasinya seperti dikatakan Marx tetapi sendiri tidak merubah realitas. Manusia dan situasinya terpecah. Manusia menjadi pengamat saja bukan pencipta. Maka disini sebetulnya tidak ada kebebasan, yang ada justru dominasi.
Melihat kelemahan-kelemahan sistem pendidikan diatas, Freire merasa perlunya diadakan rekonsiliasi, yaitu dengan merubah arah pendidikan ke pembebasan dan bukan dominasi. Karena pendidikan ini bertujuan menggarap realitas manusia, maka metode yang digunakan adalah aksi dan refleksi total, artinya di satu pihak harus mengandung tindakan kongkrit dilain pihak secara terus menerus membuka kesadaran akan realitas. Jadi setiap kali pendidikan harus merangsang ke arah tindakan, kemudian tindakan ini direfleksi lagi dan dari refleksi ini diadakan aksi baru, demikian seterusnya. Segala topeng yang mau menutupi kesadaran manusia harus dirobek. Kalau pendidikan a la bank membius dan mencegah daya kreatif manusia, maka pendidikan yang kritis mau membuka terus menerus realitas yang tak habis-habisnya, membangkitkan kesadaran untuk ikut campur tangan dalam merubah realitas.
Hubungan guru dan murid bukan lagi sebagai subyek-obyek melainkan sebagai partner yang bekerja sama dalam memahami realitas. Tidak ada lagi yang melulu di ajar dan mengajar, keduanya saling belajar. Guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan murid, sementara pertimbangan guru sendiri diuji kembali setelah ditemukan dengan pertimbangan murid. Tak ada lagi pertentangan (antagonisme) antara guru dan murid, sebab murid tidak lagi menjadi pendengar pasif melainkan teman dialog.
Kalau pendidikan a la bank bersifat mendua, maka pendidikan yang kritis bersifat satu dan utuh. Dalam pendidikan a la bank, pertama-tama guru harus menekuni sendiri obyek pelajaran yaitu selama menyiapkan pengajarannya. Persiapan ini yang berlaku bagi guru bersifat cognitif. Pada fase kedua berlangsung pengajaran kepada murid yang bersifat naratif. Pada pendidikan yang kritis pemisahan seperti ini tidak diizinkan. Seluruh proses pendidikan cognitif belaka.
Lagipula dunia yang diajarkan bukanlah dunia yang terpisah dari situasi murid melainkan dunia murid sendiri. Murid justru makin dihadapkan pada problemnya sendiri sehingga merasa makin ditantang untuk menanggapinya. Inilah sebabnya Freire menyebut model pendidikannnya sebagai problem possing education. Karena problem-problem ini ada dalam kaitan seluruh konteks realitas, maka hasilnya ialah perkembangan pemahaman yang semakin kritis dan berkurangnya keasingan. Refleksi yang sejati harus menyangkut manusia dalam hubungannya dengan dunia, bukan manusia sendiri dan dunia sendiri. Kesadaran dan dunia adalah serentak, artinya kesadaran tidak mendahului ataupun mengikuti berlangsungnya dunia.
Karena realitas dunia tidak lain adalah proses perubahan, maka manusia dalam pandangan pendidikan kritis ini harus dikaitkan dengan sejarahnya. Justru dalam hal ini manusia lain dengan binatang. Manusia merasa bahwa dirinya tidak pernah lengkap berada dalam realitas yang juga tak pernah lengkap. Karena itu pendidikan pada hakekatnya mencari terus –menerus tak habis-habisnya. Maka kalau pendidikan a la bank berusaha memitoskan realitas dunia untuk menutupi fakta yang sebenarnya, pendidikan kritis sebaliknya melangsungkan demitologisasi.
Namun yang pokok adalah pendidikan merupakan pemikiran dan tindakan, refleksi yang mengarahkan pada aksi total. Refleksi dan aksi ini bertitik tolak kini dan disini. Hanya dengan mulai dari situasi sendiri ini manusia bergerak. Status mereka yang sekarang tidak dipandang sebagai status mati yang tidak dapat ditawar melainkan status yang dinamis, dapat dirubah meskipun sebagai status yang terbatas dan belum pasti. Karena itu status ini menghadapkan kembali manusia pada tantangan. Pandangan bahwa kelompok tertindas adalah orang-orang marginal harus dikembalikan pada struktur yang membuat mereka terpaksa bekerja untuk orang lain dan bukan untuk dirinya. Struktur inilah yang harus dirombak. Karena itu pendidikan ini bersifat revolusioner.
Dari sini Freire beranggapan bahwa kesadaran akan lingkungan masyarakat nya sendiri adalah syarat mutlak untuk mempraktekkan teori pendidikannya. Kalau pendidikan menolak dominasi, maka alternatifnya ialah pembebasan.